18 January 2007

Ahklak diatas Fikih

Dr. Jalaluddin Rakhmat

Salah satu perkembangan memprihatinkan di masyarakat Islam Indonesia belakangan ini adalah makin kuatnya kecenderungan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan.

Saya menemukan bahwa fikih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Alqur’an dan sunnah. Hanya saja, kemudian berkembang pendapat yang berbeda-beda.

Kalau orang menentang Alqur’an dan sunnah, jelas dia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Alquran dan sunnah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu perbedaan tafsiran saja. Karena itulah kemudian saya berpikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya.

Ahlak dan Fikih.

Ahlak sebenarnya tidak ada yang sektarian. Saya percaya, tidak ada relativisme moral, termasuk relativisme akhlak. Ada yang mengatakan bahwa akhlak itu relatif. Menurut saya, orang baik yang menurut orang lain bukan orang baik itu tidak ada. Apakah membantu orang lain, menyebar cinta kasih, menolong mereka yang teraniaya, baik menurut mazhab tertentu, tapi buruk menurut mazhab lain ?

Kalau bicara tentang akhlak, saya bicara tentang sesuatu yang kebaikannya disepakati bersama. Itulah yang disebut nilai-nilai universal, universal values. Dalam setiap agama, termasuk Islam, terdapat nilai-nilai universal itu. Kita bisa berbagi, hatta dengan agama lain dalam soal nilai-nilai universal ini.

Akhlak menurut saya adalah sesuatu yang pasti. Semua orang sepakat soal keutamaan akhlak. Yang tidak sepakat adalah tentang fikih. Jadi, daripada berpegang pada fikih yang tidak pasti, lebih baik kita berpegang pada akhlak yang sudah pasti.

Buku fikih Imam al-Ghazali, Bidâyatul Hidâyah, juga cenderung membahas soal akhlak. Memang, al-Ghazali sendiri misalnya bercerita tentang sirr, atau rahasia dari semua aturan fikih. Misalnya, puasa bukan sekadar menahan makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari segenap perbuatan yang dilarang Allah. Jadi ada juga unsur akhlaknya. Tapi kalau kita bicara fikih sebagai ilmu, tentu tidak begitu.

Bacalah buku fikih apa saja, misalnya Kitâbul Fiqh `alal Madzâhib al-‘Arba`ah. Di situ sudah tidak ada lagi pembicaraan soal akhlak. Dan ingat, Imam al-Ghazali pun berbicara di situ dalam konteks pengajaran tasawuf; mencari rahasia di balik ritual, di balik syariat. Soal syariatnya sendiri tetap berpusat pada fikih. Sampai ada yang mengatakan fikih itu soal al-hukm biz dzawâhir. Jadi, fikih itu secara umum memang berpegang teguh pada hal-hal yang lahiriah.

Dalam kenyataan, fikih terpisah dari studi akhlak, walau para ulama membahas fikih sekaligus menyertakan akhlak sebagai ilmu. Tapi yang ingin saya tekankan: walau kita mungkin belajar fikih tidak boleh terlepas dari akhlak, bahkan fikih harus menyempurnakan akhlak.

Kita ini selalu merasa yakin bahwa fikih kita yang paling benar dan fikih orang lain keliru. Itu sebenarnya bersumber dari kepercayaan yang berlebih-lebihan akan kebenaran fikih kita. Padahal, fikih itu dalam prosesnya selalu membuka ruang kritik. Dulu, Imam Syafii mengkritik konsep istihsân mazhab Abu Hanifah.

Kalau cara dan argumentasi Imam Syafii itu kita gunakan sekarang, dia bisa dipakai untuk mengkritik konsep qiyâsh yang diajarkan Imam Syafii sendiri. Jadi ushul fikih itu selalu membuka peluang kritik. Apa arti semua itu? Artinya, kita harus tawâdlu` atau rendah hati; bahwa semua fikih mengandung unsur manusia di dalamnya. Karena itu, semua fikih mengandung unsur kesalahan. Anda tentu tahu ucapan seorang ulama: fikih dia benar, tapi mengandung kemungkinan keliru (ra’yî shawâb wa yahtamilul khata’); begitu juga sebaliknya.

Mendahulukan Ahlak.

Lebih baik yang akhlaknya bagus sekalipun salatnya buruk, ketimbang salatnya bagus tapi akhlaknya buruk. Dalilnya: satu, karena sebaik apapun salat kita akan terhapus pahalanya oleh akhlak yang buruk.

Haji juga begitu. Sekalipun ia dijalankan sebaik-baiknya, malah mungkin setiap tahun, kalau di dalam pelaksanaannya ada rafats, fusûq, dan jidâl, hajinya tidak sah. “Faman faradla fî hinnal hajja falâ rafatsa walâ fusûqa walâ jidâla fil hajj,“ Itu dalil Alqur’annya.

Dalam ayat lain juga disebutkan, kalau sedekah kita disusul dengan ucapan yang menyakiti hati, maka sedekahnya akan batal. Dalam Alqur’an diterangkan, “La tutbi’û shadaqâtikum bil manni wal ‘adzâ”, atau jangan kamu batalkan sedekahmu dengan menggerutu dan menyakiti hati orang yang menerima.

Dalam kenyataan sehari-hari, kita tetap sering menemukan tuntutan fikih yang bertentangan dengan tuntutan akhlak. Misalnya, tuntutan fikih saya sebagai orang Muhammadiyah adalah: membaca qunut waktu subuh, bid’ah hukumnya. Tapi sekarang saya hidup dalam komunitas NU. Tuntutan fikih saya “jangan qunut subuh”, tapi jemaah NU di tempat saya mengangkat saya sebagai imam. Kalau saya tidak punya tuntutan akhlak untuk menjaga silaturahmi dengan masyarakat sekitar, lalu saya tidak qunut, pecahlah silaturahmi saya dengan kaum nahdliyyin.

Saya ingin beri contoh yang bagus dari tokoh al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna. Konon, al-Banna masuk sebuah masjid pada bulan puasa ketika orang-orang sedang bertengkar soal jumlah rakaat tarawih. Satu kempok bilang 11, yang lain condong ke 23 rakaat. Itu jelas pertengkaran fikih. Al-Banna lalu bertanya pada kelompok yang mendukung 11 rakaat: “Menurut kalian, apa hukumnya salat tarawih?” “Sunnah!” jawab mereka. Kepada yang 23 juga ditanya hal sama. Jawabnya: “Sunnah!” Lalu dia bertanya lagi: “Apa hukum bertengkar antara sesama kaum muslimin di masjid?” Semua sepakat menjawab “haram”. Al-Banna lalu menyadarkan mereka, “Mengapa kalian melakukan yang haram demi mempertahankan yang sunnah?” Artinya, sebenarnya al-Banna sedang menjalankan prinsip mendahulukan akhlak di atas fikih.

Shalat yang benar.

Kita memang pernah mendengar hadis bahwa “yang pertama kali diperiksa dari seorang hamba di akhirat kelak adalah salatnya”. Artinya, “Ídza shaluhat, shaluha sâ’iru `amalih, wa idzâ fasadat, fasada sa’iru `amalih,” (kalau beres salatnya, bereslah seluruh amalnya, dan jika rusak, rusaklah seluruh amalnya). Hadis ini bisa diartikan bahwa kalau seseorang menjalankan salat dengan baik, pastilah akhlaknya akan baik.

Tapi kita akan berhadapan dengan pertanyaan yang contradictio in terminis; “salatnya baik, tapi akhlaknya buruk”. Karena itu, ada yang menjawab hal itu tidak mungkin. Sebab kalau salatnya baik, pasti akhlaknya akan baik. Tapi, sayang kriteria salat yang baik itu sangat fiqhiyyah atau berbau fikih. Artinya, tetap saja bergantung pada mazhab yang mana. Menurut mazhab Syafii, salat yang baik adalah dengan qunut. Tapi menurut Hanbali, salat yang baik tanpa qunut, kecuali pada saat perang. Dan begitulah seterusnya.

Ada asumsi kalau salat itu sesuai dengan mazhab tertentu, barulah ia dikatakan baik. Saya pernah menemukan beberapa kitab yang berjudul Shalatun Nabi. Waktu saya baca, ternyata salat ala mazhab Hanafi. Saya beli lagi buku dengan judul yang sama; ternyata salat menurut mazhab Hanbali. Orang Syiah juga punya buku tuntunan salat ala Syiah. Judulnya juga senada, Shalatun Nabi. Jadi, apa yang disebut salat yang paling sesuai contoh Nabi itu, dan dengan itu menjadi salat yang paling baik, juga bergantung pada mazhab tertentu.

Yang kedua, dalam kenyataan sosial di masyarakat, kita tak jarang menemukan orang yang rajin dan khusuk salat, rajin haji, tapi juga khusyuk korupsi. Nah, apakah hadis itu salah dan Rasulullah keliru? Saya yakin, Rasulullah tidak salah. Yang salah adalah penafsiran kita terhadap hadis itu. Karena itu, tafsiran saya ialah: ukuran baik-buruknya salat bukan pada standar mazhab, tapi dilihat dari ukuran akhlaknya di tengah masyarakat. Kata Rasulullah, “Idzâ shaluhat, shaluha sâ’iru `amalih”. Jadi, kalau ingin tahu baiknya salat seseorang, lihatlah amalnya di masyarakat. Kalau amalnya baik, itu berarti salatnya baik, tidak peduli apa mazhabnya.

Alqur’an juga mengatakan, kalau orang menyakiti sesama manusia akan dilaknat Allah di dunia dan akhirat. Dalam surah al-Ahzâb: 56 dikatakan, “Innalladzîna yu’dzûnalLâh wa rasûlah la`anahumulLâhu fid dunyâ wal âkhirah, wa ‘a`adda lahum adzâban mubîna. Wallladzîna yu’dzûnal mu’minîna wal mu’minâti bighairi mâ iktasabû faqad ihtamalû buhtânan wa itsman mubîna”.

Intinya, mereka yang menyakiti orang lain itu sedang menghapus seluruh amalnya. Sebuah hadis qudsi juga mengatakan: “Ya Ahmad, katakan kepada orang-orang yang zalim itu agar tidak masuk rumah di antara rumahmu, karena sudah menjadi kewajiban bagi-Ku untuk menyebut orang yang menyebut namamu. Dan kalau seseorang menyakiti orang lain dan menyebut namamu, Aku akan menyebut namanya juga”. Dan di situ diterangkan, “wa dzikrî iyyâhu ‘an al`anahu” (zikirku padanya adalah: Aku melaknat dia).

Jadi, setiap kali orang salat, tapi akhlaknya buruk, suka menyakiti orang lain, maka setiap kali dia menyebut “Allahu akbar” dalam salat, Allah justru melaknatnya. Artinya, salatnya hanya berfungsi untuk mengumpulkan laknat Allah. Jadi, betapa kasihan orang yang salatnya baik tapi akhlaknya buruk, karena seluruh ibadah salatnya gugur.

Satu lagi nilai paling penting yang perlu disampaikan adalah hadis yang termuat di kitab Ihyâ `Ulûmiddîn. Saat itu, kepada Rasulullah dilaporkan bahwa “Inna fulânah tashûmun nahâra wa taqûmul lailâ walâkin tu’dzî jirânaha bilisâniha” (ada seorang yang rajin puasa siang dan salat malam, tapi suka menyakiti tetangga dengan lidahnya). Apa kata Rasulullah? “Hiyâ fin nâr” (dia di neraka).

No comments: